Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Rabu, 12 Januari 2011

Rahman Arge di Hari-hari Perenungan Bersama Cucu

SELASA, 11 JANUARI 2011 | 22:25 WITA | 1248 Hits Fajar

Oleh: Fiam Mustamin (Seniman, Tinggal di Jakarta)

Tidak terasa sudah satu bulan lebih tulisan budayawan Rahman Arge tidak tampak mengisi kolom di halaman depan surat kabar ini. Banyak yang bertanya dan mencari tahu ada apa gerangan yang sedang dihadapi oleh tokoh wartawan senior kita ini.

Karena itu, sebagai salah seorang yang cukup dekat dengannya, penulis bermaksud berbagi informasi bahwa Rahman Arge yang akrab kami sapa Opa, saat ini sedang menjalani perawatan pra operasi katarak kedua matanya. Penyakit ini adalah penyakit umum bagi masyarakat yang rentang usianya di atas 50 tahun.

Memasuki usia 76 tahun (17 Juli 1935) penyakit ini memaksa Opa untuk menghentikan semua kegiatan yang akrab dengan kesehariannya, terutama membaca dan menulis. Hal ini tentu saja berdampak psikologis, tapi aktivitas pengembaraan rasa dan pikirannya tidak pernah jeda, tertahan dan tertutupi hanya karena gangguan penglihatan ini.

Derita katarak ini tidaklah begitu berat dan membuat depresi dibanding dengan ragam penyakit lain yang pernah mampir dengan beberapa kali operasi terutama yang menyulitkan pergerakan beliau tanpa bantuan penyangga. Sebutan "Opa" ini adalah salah satu judul naskah Teater yang ditulis dan disutradarai Rahman Arge di tahun 70-an yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada pekan teater yang diikuti grup teater dari berbagai kota; Makassar, Bandung, Padang, Medan dan Surabaya.

Tokoh Opa adalah sosok bapak, orang yang memiliki kearifan dan kemampuan lebih sebagai Goodfather.
Dalam perspektif lain. Opa di beberapa etnis adalah kakek yang akrab dan melekat dengan cucu-cucunya.

Lakon drama sosial Opa ini begitu mengesankan dan menarik perhatian penonton sehingga beberapa orang kolega terdekat Rahman Arge seperti Zainal Bintang, Aspar Paturusi, Ishak Ngeljaratan, S Sinansari ecip, Arsal Al Habsyi (alm), Husni Djamaluddin (alm), Abdullah Adam (alm), Ilham Bintang, Abd Muin Ahmad, Ny Nenny ZB, Ny Sulasmi AP, dan Ny Lucy Natalia SM, menyapa beliau dengan sebutan Opa.

Realitas Opa yang sesungguhnya saat ini adalah bagaimana gambaran kedekatan Rahman Arge dengan 10 orang cucu dari seorang putra dan tiga putrinya. Kehadiran para cucu ini adalah bagian penting hidup beliau, yang mengisi dan menghibur hari-hari Opa dalam menjalani perenungan rasa kesepian dari cahaya panggung-panggung orasi untuk berinteraksi masyarakat pembaca atau dengan komunitas yang ditemui setiap harinnya.

Opa Rahman Arge bersama cucunya bagai sebuah Pentas Keluarga yang mencairkan semua ketegangan dan kejenuhan dari kegiatan sehari-hari. Sungguh menyenangkan menyaksikan peleburan emosi berada di tengah anak-anak balita usia pra sekolah bermain lepas merajuk, berteriak, dan bernyanyi bersama. Suara-suara itu adalah denting musik penghibur jiwa yang mengisi ruang hati Opa.

Subhanallah, ternyata "dunia anak" begitu indah untuk dihayati sebagai karunia penyejuk hati yang luar biasa. Menjadi cermin untuk melihat diri kita yang kemudian memberi pemaknaan terhadap proses hidup yang telah kita jalani.

Orasi 11 Desember

Dalam kondisi fisik yang lemah dan penglihatan yang samar-samar, Opa tetap datang bersama cucunya memenuhi undangan Paguyuban Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) untuk memberikan orasi pencerahan tentang bagaimana Pemaknaan Semangat Pengorbanan 40.000 Jiwa Rakyat Sulawesi Selatan sebagai harga kemerdekaan yang direfleksikan pada setiap 11 Desember, di Jakarta.

Sesaat sebelum tampil orasi di kediaman Ahmad Nurhani, pendiri KKSS, tiba-tiba kondisi fisik beliau drop, tensi darah menurun. Segera dilarikan ke RS terdekat MMC Kuningan untuk perawatan darurat. Turut mendampingi saat itu dr Hasan Anoes dan dr Andi Arus Victor.

Sekitar 30 menit di ruang gawat darurat, Opa membuka matanya dan memberi isyarat kepada saya untuk mendekat. Saya mendekat dan menggenggam tangan beliau dengan erat seolah ingin memberi kekuatan.

Dengan suara bergetar pelan setengah berbisik, beliau berkata "Andikku…. bila Allah memberi hidayah umur dan kekuatan, bawa saya kembali untuk menyelesaikan amanah orasi itu yang sudah saya janjikan kepada KKSS." Subhanallah, Allahu Akbar. Keharuan menyergap, saya berusaha merapatkan badanku, menggenggam tangan beliau lebih erat sembari berbisik tidak kalah lirih "Insya Allah, kita akan menuntaskan janji."

Sesaat saya menangkap tokoh I Tolok Daeng Magassing, lelaki perkasa rekaan Bugis Makassar seolah hadir di hadapanku.

Alhamdulillah, sekitar 30 menit kemudian kami sudah berada kembali di depan forum KKSS yang sudah berlangsung orasi dari Sejarawan Anhar Gonggong dan Antropolog Muhlis Paeni. Tiba giliran Opa, dengan mic di tangan kiri, Opa yang tampil tetap gaya, mengatur tempo, emosi dan irama dalam mengurai orasinya: "Perlunya membangun kebersamaan untuk mengubah kondisi bangsa yang krisis harga diri menjadi lebih bermartabat" yang disampaikan sekitar 15 menit.

Bagi hadirin yang menyaksikan dan mengenal sosok Opa, ini akan merasakan seperti sedang menyaksikan sebuah suguhan teater dengan penyajian dan pesona orasi gaya teateral, penuh ekspresi seorang aktor, sejenak kita melupakan bahwa sosok Opa baru saja terbaring setengah sadar di ruang gawat darurat beberapa menit lalu.

Opa seperti tidak merasakan sesuatu yang sedang mengganggu dan menguasai sakit raganya. Sungguh beliau adalah seorang yang kuat ngerang loko. Peristiwa ini sungguh mengharukan dan membanggakan, gambaran seorang tokoh yang berkarakter, berkomitmen dan bertanggung jawab dari apa yang ia ucapkan, tuliskan sama dengan tindakan perbuatannya.

Petuah leluhur Bugis mengatakan Ia ada ia gau. Kekuatan spirit dan pikiran jernih yang hidup dan mengalir sebagai sebuah hidayah yang diberikan kepada orang-orang terpilih seperti Opa.
Aktor dan sutradara Putu Wijaya memberi apresiasi tentang sosok Rahman Arge yang disimbolkan sebagai "Beruang Bugis" yang mampu merebut apa yang hendak dicapai yang dilakukan dengan lurus.

Arge adalah " teladan ". Demikian rasa kagum dan hormat Putu setelah menyimak kumpulan karya esai " Permainan Kekuasaan " dan kumpulan puisi " Jalan menuju Jalan ". Arge adalah lelaki jantan yang tenang serta berwibawa, ibarat sebuah mesin tak henti-hentinya bekerja dengan karya yang begitu banyak dan beharga.

Semoga Opa dapat menjalani hari-harinya menuju operasi pada hari Rabu, 12 Januari 2011 di RS Aini Jakarta untuk mendapatkan cahaya yang akan terus menyertainya mengalirkan syiar pencerahan untuk kehidupan bangsa. (*)
Fajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar