Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Selasa, 04 Januari 2011

Amnesia Sejarah Amnesia Sejarah dan Kekuasaan

Kalau diperhatikan lebih saksama, istilah ”monarki” yang dilawankan dengan ”demokrasi” dalam tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah mendengarkan presentasi Mendagri Gamawan Fauzi soal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY dalam Rapat Terbatas Kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, (26/11/2010) menunjukkan sejenis ”kecerobohan” seorang Kepala Negara, bukan semata kesalahan komunikasi yang menyisakan ”ruang tafsir yang terlalu lebar” seperti dikatakan beberapa pengamat politik di Jakarta.
Paling tidak, istilah ”monarki” dan ”demokrasi” yang dimaksudkan SBY tidak beralaskan pada fakta dan pengalaman aktual sejarah masyarakat Yogyakarta. Bukan semata persoalan pernyataan SBY tersebut mencederai rasa sejarah (historical taste) masyarakat Yogyakarta, tetapi sangat disayangkan dilontarkan seorang Kepala Negara yang menunjukkan tidak adanya keluasan pandangan mengenai persoalan kebangsaan, terutama kesadaran sejarah. Benarkah SBY tidak mengetahui sejarah Yogyakarta? Demikian naifkah ”orang-orang pintar” (official intellectual) yang jumlahnya cukup banyak di sekitar SBY memandang sejarah sebatas pada persoalan kekuasaan (jabatan gubernur dan raja)? Dan lebih memilukan, jangan-jangan kata ”demokrasi” yang digunakan SBY tidak lebih dari retorika untuk memberangus sebuah ”pengalaman dan rasa sejarah aktual” yang demikian nyata masyarakat Yogyakarta? Apakah ”demokrasi” yang dimaksud SBY dalam pernyataannya adalah ”demokrasi ekspor-impor” dalam istilah Arundhati Roy, aktivis asal India itu?
Kalau memerhatikan kutipan pernyataan SBY berikut, ”Namun, negara kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”.
Penyataan SBY tersebut semakin ”keruh” oleh pernyataan orang-orang dekat SBY seperti Gamawan Fauzi (Mendagri), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Velix Vernando Wanggai (Staf Ahli Presiden Bidang Otonomi Daerah), tidak saja karena mereka tidak berani mengungkapkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam pernyataan SBY tetapi karena mereka sudah terbiasa dengan jargon politik, pernyataan-pernyataan abstrak yang mementingkan artikulasi (yang penting lancar) daripada substansi.
Sangat sulit mengharap sikap rendah hati (humility) dari sebuah kekuasaan yang akut seperti rezim sekarang dalam melihat berbagai persoalan kebangsaan belakangan ini. Hal ini terbukti dengan dua hal: pertama, sikap ”sok lebih tahu” soal tafsir ”keistimewaan” versi pemerintah yang melampaui pengalaman sejarah aktual masyarakat Yogyakarta dalam hubungan mereka dengan kekuasaan Keraton Yogyakarta. Masih dalam tataran ini, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan memiliki sejumlah intelektual dalam berbagai bidang, terutama budaya yang tidak buta dan tinggal diam jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh sistem kekuasaan yang berjalan di Yogyakarta.
Kedua, pernyataan SBY menunjukkan hilangnya keadaban dalam rivalitas berpolitik. Dalam konteks ini, SBY terjerumus dua kali dalam lubang yang sama, yaitu pemimpin yang tidak lapang dalam perbedaan pilihan politik. Sikap ”sempit” tampak jelas ditunjukkan SBY pada saat meninggalnya penyair WS Rendra dengan tidak memberikan apresiasi apa pun pada salah seorang penyair besar Indonesia lantaran pada kampanye Pemilu 2009 Rendra membaca puisi untuk kampanye pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.
Soal RUUK DIY, siapa pun dapat melihat dengan gamblang sikap SBY tidak dapat dilepaskan dari rivalitas politiknya dengan Sultan Hamangkubuwono X. Sikap politik Sultan Hamangkubuwono X yang sering kali mengambil posisi oposan terhadap SBY secara langsung, baik sebelum dan sesudah Pemilu 2009. Tarik-ulur RUUK DIY selama ini jelas sekali bagian dari sikap tidak lapang SBY dalam rivalitasnya dengan Sultan Hamangkubuwono X. Rivalitas ini mengorbankan makna hakiki demokrasi yang menekankan aspirasi akar rumput dan pengalaman sejarah. Masyarakat Yogyakarta dari dulu tidak buta dengan kondisi aktual yang mereka rasakan. Walaupun ada kekurangan di sana sini, masyarakat Yogyakarta tidak memiliki persoalan berarti dengan kekuasaan yang diselenggarakan selama ini di wilayah mereka. Istilah ”monarki” dalam pernyataan SBY selain berkonotasi permusuhan juga berkonotasi ”absolutisme” kekuasaan yang tidak sesuai dengan pengalaman aktual masyarakat Yogyakarta yang seakan tidak memiliki ruang negosiasi apa pun terhadap kekuasaan ”Sultan” selama ini. Padahal, mekanisme historis menunjukkan bahwa ”oposisi” masyarakat Yogyakarta terhadap kekuasaan ”Sultan” selama ini bekerja sesuai dengan pengalaman sejarah mereka.
Kekuasaan yang mulai rabun melihat aktualitas sejarah seperti ditunjukkan oleh rezim sekarang sudah terlalu akut. Apa yang dilakukan rezim ini terhadap bangunan budaya (seperti pada kasus WS Rendra) dan sekarang pada fakta dan sejarah aktual dalam konteks Yogyakarta harus dikritik secara terbuka agar tradisi jargonik dalam setiap artikulasi politik rezim ini tidak menjadi tradisi politik bangsa Indonesia di masa mendatang. Kritik pada pernyataan (statement dan jargon politik) SBY bukan untuk membela Sultan Hamangkubuwono X, tetapi sebagai apresiasi pada aktualitas dan pengalaman sejarah masyarakat Yogyakarta dan model oposisi yang mereka lakukan selama ini dalam menanggapi sikap ”plin-plan”, tarik-ulur pemerintah mengenai RUUK DIY.
Pernyataan SBY mengingatkan pada pendapat Michel Foucault, filosof Perancis, mengenai kekuasaan, bahwa kadang bukan sistem yang menjadi persoalan dalam masalah kekuasaan tetapi jauh lebih penting memikirkan bagaimana sebuah kekuasaan tercerahkan (enlightened power), yakni kekuasaan yang memberikan perhatian dan mengurusi rakyat, bukannya kekuasaannya yang kerjanya hanya memberikan pernyataan dan jargon politik yang salah dan mencederai rakyat. Dan rezim SBY sekarang ini jauh dari tercerahkan. 

Kamis, 2 Desember 2010 | 10:03 WIB

HASAN BASRI MARWAH Warga Lombok, NTB, dan Alumnus Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar