Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Rabu, 12 Januari 2011

Reposisi Esensialitas Unjuk Rasa

KAMIS, 06 JANUARI 2011 | 23:50 WITA | 3471 Hits
Oleh: Saharuddin Daming (Komisioner Komnas HAM)

Maraknya aksi unjuk rasa yang terjadi di sepanjang 2010, di Kota Makassar, mengakibatkan unjuk rasa kini nyaris menjadi sebuah tren dan gaya hidup masyarakat kota anging mammiri. Tidak jarang jika unjuk rasa kini menjadi objek wisata maupun menjadi komoditas tunggangan politik dan berbagai anasir kepentingan lainnya.

Begitu seringnya unjuk rasa berlangsung di Makassar, maka berbagai kalangan mulai menjuluki Makassar sebagai "Kota Unjuk Rasa". Julukan seperti ini, memang tidak perlu membuat kita malu, tetapi kita malah harus bangga karena itu berarti Makassar telah menjadi barometer kepekaan dan responsibilitas publik terhadap agenda reformasi yang semakin redup dan kehilangan arah.

Kebijakan yang timpang, pejabat publik yang tidak kompeten, kekurangan pengetahuan pemerintah mengenai masyarakat, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kolusi, atau nepotisme, adalah virus penting reformasi yang memicu resistensi publik melalui unjuk rasa sebagai sarana kontrol.

Jika tidak ada kontrol secara saksama, maka kekuasaan itu akan semakin korup sebagaimana warning Lord Acton; "Power tend to corrupt. Absolute power corrupts absolutely." Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak adalah korupsi yang nyata.

Sinyalemen Acton tersebut memang telah terfragmentasi dalam struktur kehidupan negara dan bermasyarakat kita sejak lama, sehingga kepercayaan masyarakat pun hilang. Rezim seperti ini memang harus segera ditegur atau bahkan dijatuhkan. Salah satu pilihannya adalah unjuk rasa.

Apalagi ketika semua saluran dan metode alternatif mengalami jalan buntu, maka unjuk rasa memang menjadi instrumen penting bahkan menjadi solusi tunggal bagi rakyat untuk mengadvokasi kepentingannya.

Dalam sejarah, unjuk rasa telah menjadi pilar demokratisasi di hampir semua bangsa. Semua menjadi bukti bahwa unjuk rasa adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi perkembangan dan perbaikan suatu bangsa.

Namun unjuk rasa sendiri tidak boleh tercerabut dari akar esensialnya, melainkan harus terpola sedemikian rupa. Manajemen penanganannya pun harus tertuju pada upaya untuk mempersingkat atau mengeleminasi eskalasi maupun dampak yang ditimbulkannya dengan menjauhi pola represif.

Meluasnya aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh dan anarkis sebagaimana terjadi pada 9 Desember tahun lalu, di depan kantor Gubernur Sulsel di Makasar, merupakan contoh kegagalan besar kita dalam belajar mengelola aksi unjuk rasa secara damai.

Hal ini sesuai betul dengan pandangan GWF Hegel, filsuf Jerman, "History teaches us that people have never learnt anything from history" Sejarah mengajari kita bahwa manusia tidak pernah sukses belajar apa pun dari sejarah.

Selain ketidakmampuan pasukan keamanan mengontrol temperamentasi sehingga ikut larut dengan ritme permainan para pengunjuk rasa, pemangku utama kantor Gubernur juga turut berkontribusi lantaran lebih memilih sikap menolak dan apatis untuk berinteraksi langsung dengan para pengunjuk rasa.

Memang sebagian besar pejabat publik kita dewasa ini mulai dari pimpinan negara (pusat) hingga daerah, terinfeksi penyakit alergi dengan budaya kritik, apalagi jika kritik dilakukan dalam bentuk aksi unjuk rasa. Hal ini sangat kontras dengan fenomena sambung rasa, lobi, hingga serangan fajar yang kerap dilakukan pada masa kampanye pemilu.

Namun begitu pesta demokrasi usai dan pemenang telah ditetapkan sebagai pejabat maka sedikit demi sedikit saluran komunikasi dengan rakyat dipersempit. Akses terbesar hanya diberikan kepada kelompok orang yang berada pada lini terdekat maupun investor politik terbesar yang dapat memeragakan tarian "ABS".

Tidak salah jika Alexander Solzhontsyn, novelis Rusia pernah mengatakan; "In our country the lie has become not just a moral category but a pillar of the state!" Di negara kita, kebohongan telah menjadi tak hanya kategori moral tapi pilar negara.

Inilah yang menjadi siklus mata rantai ketidakadilan yang memicu unjuk rasa berbagai elemen untuk mereduksi pemerintahan diktator, yang dikelilingi tembok kekuasaan. Kesadaraan mengenai konteks perjuangan rakyat untuk "meruntuhkan tembok" kekuasaan semakin mudah tergalang akibat pola komunikasi penguasa pemerintahan maupun swasta cenderung eksklusif, arogan, dan tidak peka dengan gejolak kehidupan sosial yang didera kemiskinan dan diskriminasi.

Namun perjuangan yang jauh lebih esensial adalah mengisi ruang kosong yang merupakan sisa-sisa keruntuhan tembok kekuasaan. Ruang kosong tersebut adalah area perjuangan yang lebih relevan dengan aksi unjuk rasa yang mencakup pretensi untuk melahirkan pejabat publik yang amanah,

legislator yang memperjuangkan kepentingan rakyat, pengusaha yang membuka lapangan kerja, pegawai negeri maupun swasta yang memberikan pelayanan publik yang baik, aktivis LSM yang tulus memperjuangkan rakyat, insan pers yang kritis, konstruktif, dan bertanggung jawab, oposan yang ikhlas atau bahkan pengangguran yang santun.

Untuk mewujudkan agenda reformasi yang kita perjuangkan sebagaimana disebut di atas, maka elemen masyarakat sudah saatnya mereposisi strategi aksi unjuk rasa sebagai ujung tombak perjuangan dengan pola yang lebih cerdas, arif dan mencerahkan. Betapa tidak, karena unjuk rasa yang banyak digelar selama ini dengan tren "penutupan jalan", mengundang cemoohan kalangan luas akibat kerugian kolektif secara material atau moril.

Unjuk rasa seperti itu semakin kontra produktif untuk dinilai sebagai alat perjuangan rakyat. Simpati publik pun yang tercurah kepada elemen mahasiswa yang mengklaim diri sebagai pencetus suara rakyat semakin redup ditelan praktik unjuk rasa yang arogan, egois dan tidak lagi mengindahkan kepentingan umum maupun norma kesantunan. Unjuk rasa seperti ini bukan bagian dari HAM dan kebebasan melainkan pelanggaran hukum. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar