Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Jumat, 31 Desember 2010

* Karaeng Sangunglo dan Heroisme Bugis di Sri Lanka

Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.
Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.
Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).
Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa membujuknya pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.
Di Bima, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terus mematai-matai Sultan Fakhruddin. Ia dituduh berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut ‘Cella Bangkahulu’ yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya yang tampaknya dimaksudkan untuk menentang monopoli dagang Belanda di Nuantara bagian timur.
Pada suatu hari, masih di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon (Sarandib atau Langkapuri). Pada tahun itu juga Sultan Fakhruddin (mungkin bersama istrinya, Siti Hapipa) sampai di Colombo, ibukota Ceylon, negeri pembuangan.
Hidup di tanah pembuangan yang jauh dari tanah tumpah darah sendiri mungkin telah menyiksa batin keluarga Sultan Fakhruddin. Namun di Ceylon Siti Hapipa melahirkan banyak anak seperti marmut. Ia mencatat dalam sepucuk surat beraksara Jawi yang ditulisnya di Colombo tanggal 3 Januari 1807 bahwa anaknya duabelas orang (6 lelaki, 6 perempuan). Surat itu saya temukan baru-baru ini di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda (Kompas, 11&14/8/2008; Jurnal Wacana 10.2, 2008: 214-45).
Rupanya Sultan Fakhruddin punya seorang istri lagi yang sudah diceraikannya. Wanita yang tidak diketahui namanya itu memberinya seorang anak lelaki. Dialah yang bernama Karaeng Sangunglo. Kelak anak itu menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di Ceylon.
Seperti kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon, Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang dibentuk Belanda (yang kemudian bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah dilikuidasi Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima, kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya bangsa Timur.
Dalam serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka ditarik menjadi anggota pasukan pengawal Istana Kandy. Karaeng Sangunglo dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy (the Kandyan Malays) yang nenek moyang mereka berasal dari Nusantara.
Enam saudara tiri Karaeng Sangunglo—Karaeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddin—juga ikut dalam Resimen Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Tuan-tuan Eropanya.
Surat Siti Hapipa yang saya temukan itu juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di Ceylon dan rasa rindu kepada tanah Nusantara. Suaminya, yang menanggung utang sampai 5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada Minggu, jam 13:30, 25 Januari 1795 di kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang oleh Gubernur Angelbeek.
“Setelah [h]abis minum te[h] maka Baginda(h) bangun(g)lah daripada meja(h) serta mohon kepada Adelir [Angelbeek], maka baring2, tatkala itulah sudah pulang ke Rahmatullah kepada hijrat al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan, harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah”, tulis Siti Hapipa dalam suratnya, menjelaskan penyebab kematian suaminya.
Perang atas nama penindasan antara sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusuf—yang dalam beberapa laporan Inggris disebut ‘Captain Usop Gowa’—dan Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.
Tetapi ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon. Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam penyerangan itu.
Mendekati Istana Kandy Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan dengan saudara sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empatpuluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berspisah. Kini sebuah ‘reuni’ ironis terjadi dalam tatapan dan nafsu untuk saling membunuh.
Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya ‘fat and tall Malay prince’ di medan tempur. Dalam desingan peluru dan tetakan kelewang, ia membujuk kedua saudara tirinya membelot ke pihak Kandy. Bujukan itu gagal, Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Dalam the First Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya, Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas Kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.
Gubernur Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris, termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada Kerajaan Kandy. Akan tetapi Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak permintaan Raja Kandy itu, meskipun keduanya sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati untuk tetap setia kepada Inggris.
Penolakan itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa yang terjadi kepada seorang hamba jika seorang raja sudah murka. Algojo diperintahkan mengesekusi kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Saking murkanya, Raja Sri Vikrama melarang mengubur mayat mereka. Kedua jenazah itu dilempar ke hutan dan menjadi santapan celeng liar.
Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah ‘tali sejarah’ yang mungkin dapat mempererat hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Seperti halnya Syekh Yusuf al-Makasari, ia adalah seorang putra Indonesia yang berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama umat manusia. Ironisnya, ia dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di Makassar, di kaki Pulau Sulawesi sana.
Kiranya riwayat hidup ‘pahlawan Indonesia’ seberang lautan itu perlu diteliti lebih lanjut oleh cerdik-pandai sebuah negara-bangsa (nation-state) yang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Oleh :
Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda

Sumber :
http://niadilova.blogdetik.com
Catatan: artikel ini juga dimuat di situs:
www.melayuonline.com

* Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka

CATATAN sejarah kembali mengukir keberanian bangsawan Bugis-Makassar di luar negeri. Adalah Karaeng Sangunglo atau Karaeng Sanguanglo yang disebut sebagai bangsawan Kerajaan Gowa menjadi pejuang rakyat Srilanka dulu masih bernama Ceylon. Nama tersebut bisa jadi terasa asing di Indonesia, termasuk di tanah asalnya, Gowa. Namun tidak bagi masyarakat Colombo atau Sri Lanka.
Demikian salah satu bagian diskusi Rumah Nusantara yang digelar di kantor Tribun, Senin (12/7). Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies, Suryadi.
Sejumlah tokoh lintas etnis dan budaya juga hadir dalam diskusi yang berlangsung hangat namun tetap diselingi dengan canda tawa dari peserta diskusi.
Karaeng Sangunglo disebutkan sebagai putra Raja Gowa Ke-26 (1753), Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, yang memilih pindah ke tanah kelahiran ibunya di Bima karena kuatnya intimidasi Belanda di Gowa kala itu.
Pada 1767, tanpa alasan yang jelas, Sultan Fakhruddin ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di sanalah putranya Karaeng Sangunglo menjadi pahlawan Melayu dan menjadi legenda di Ceylon.
Awalnya, Karaeng Sangunglo adalah anggota dari Resimen Melayu Ceylon (semacam pasukan khusus bentukan Belanda) yang kemudian dilikuidasi oleh Inggris tahun 1796 hingga berubah nama menjadi The Ceylon Rifle Regiment.

Membelot

Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Karaeng Sangunglo memilih membelot karena jiwanya memberontak terhadap perlakuan keji Belanda kepada pribumi dan bergabung dengan pasukan Kandy.
Saat itu, Raja Kandy Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menganugerahkan posisi dan gelar muhandiram (semacam komandan pasukan pengawal kerajaan ).

Dalam catatan seorang anggota tentara Inggris yang melakukan agresi tahun 1803, keberanian sosok Karaeng Sangunglo digambarkan sebagai fat and tall Malay prince (tentara Melayu yang bertubuh besar dan tegap) di medan perang.
Dalam the first Anglo-Kandyan war, Karaeng Sangunglo menderita kekalahan. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.

Ironis

Kisah heroisme Karaeng Sangunglo dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah, dan buku-buku tua, serta naskah bertulisan Jawi.
Riwayat “pahlawan” seberang lautan tersebut menurut Suryadi masih perlu mendapat penelitian ilmiah lebih lanjut.
Meski demikian, hal tersebut menurutnya sangat ironis. Jika di Srilanka nama mereka harum sebagai seorang pahlawan karena keberanian dan keteguhan perasaannya, maka di bumi Nusantara, tanah tumpah darah mereka tidak memperoleh tempat yang layak.
“Jangankan diakui sebagai pahlawan, tidak ada sebuah gang-pun di negeri ini yang mengabadikan namanya,”kata Suryadi.

Membelot karena Jiwanya Memberontak

Meski kebesaran kisah heroik Sultan Fakhruddin dan Karaeng Sangunglo tidak terlacak dalam rekaman pribumi, bahkan mungkin namanya tak tercatat dalam silsilah kerajaan Gowa saat ini, namun ada pelajaran besar yang terselip dan coba diajarkan olehnya.
Saat Sultan Fakhruddin mengajarkan kepada kita arti sebuah ketenangan jiwa, saat jiwa dan hatinya gundah akibat maraknya intrik yang dilakukan oleh keluarga dan tekanan kolonial Belanda.
Watak dan kebesaran hati Sultan Fakhruddin menjadi bahan perbincangan dalam diskusi Rumah Nusantara di Tribun, Senin (12/7), yang menghadirkan menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies,Suryadi.
Sultan Fakhruddin memilih meninggalkan segala kebesaran dan kekuasaan yang dimilikinya dan memilih untuk tinggal di tanah seberang tempat kelahiran ibunda tercintaya, Bima. Apa yang dilakukannya mengajarkan kita bahwa ketenangan jiwa lebih berharga ketimbang harta bendanya.
Ayah Sultan Fakhruddin adalah Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742 - 1753) dan ibunya adalah Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731 - 1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga ri Pasi alias I Mappaurrangi (1711 - 1713).
Pada suatu hari, di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon. Pada tahun itu juga (1767) Sultan Fakhruddin sampai di tanah pembuangan yang jauh itu.
Di Ceylon, Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Putra sultan Fakhruddin, Karaeng Sangunglo memilih membelot karena jiwanya memberontak terhadap perlakuan keji Belanda kepada pribumi dan bergabung dengan pasukan Kandy.
Sekalipun harus meninggalkan jabatan dalam militer Belanda saat itu, Karaeng Sangunglo telah mengajarkan bahwa jabatan bukan satu-satunya jaminan untuk membuat manusia dikenang oleh generasi berikutnya.
Pembelotan yang dilakukan oleh Karaeng Sangunlo bukan berarti tidak patuh kepada `tuannya’, tapi karena hatinya tidak tega menyaksikan kesema-menaan yang dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa pribumi Srilanka.
Istri kedua Sultan Fakhruddin, Sitti Hapipah, Ibu tiri Karaeng Sangunglo jelas sekali menggambarkan sosok perempuan cerdas nan terpelajar, mengetahui baca tulis, penanggalan, bahkan dengan struktur kalimat Arab Melayu.
Surat Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek Leiden), Belanda. Menurut Edwin Wieringa (1998 : 391) Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] adalah letter from Sitti Hapipa at Ceylon, widow of the exiled Sultan Fakhruddin of Go[w]a, to the Governor General and the Raad van IndiĆ«, dated Kolombo, 3 Januari 1807; received at Batavia 29 May 1807.” (syekhuddin/ adin)

http://www.tribun-timur.com, 13/14 JULI 2010
Selasa, 13 Juli 2010 |
Source :
Diskusi Rumah Nusantara di Tribun Timur

Sitti Hapipa The Real Kartini ............

Ceylon Map 1914

 
Naskah Dinasti Gowa Ditemukan

Jakarta- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808).



Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjadjaran Bandung.

”Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga mengenai kehidupan orang-orang yang dibuang Belanda di negeri asing tempat mereka menjalani sisa hidupnya, bahkan tak jarang berkubur di sana,” kata Suryadi ketika berbincang-bincang dengan Kompas, Minggu (10/8) di Jakarta.

Mengingat kandungan data historis yang dimiliki surat tersebut, transliterasinya yang akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu lama.

Kehidupan sultan

Menurut Suryadi, isi surat Sitti Hapipa memberikan sejumlah informasi akurat mengenai kehidupan Sultan Fakhruddin beserta keluarga besarnya (dengan 12 anak dan cucu-cucu) di Colombo, tarikh (jam, hari, tanggal, dan tahun) mangkatnya, dan penyebab kematiannya di ibu kota Ceylon itu. Suatu informasi yang cukup rinci tentang anggota dinasti Kerajaan Gowa yang selama ini belum pernah diungkapkan dalam buku-buku sejarah.

Sitti Hapipa dalam suratnya mengatakan, dia mempunyai 12 anak, 6 lelaki, 6 perempuan, satu di antaranya adalah Karaeng Sangunglo. Kisah Karaeng Sangunglo ini menarik: Dia membelot kepada pihak Kerajaan Kandy di Pedamanan Ceylon, waktu kerajaan itu diserang Belanda/VOC pada tahun 1761/1762. Terus dia memimpin orang-orang Melayu yang lari dari pihak Kandy (mereka disebut Melayu Kandy/Kandyan Malays). Tahun 1803 Karaeng Sangunglo tewas.

Heroik dan tragisnya, dua saudara tirinya (seayah): Kapten Noordeen (Nuruddin) dan Karaeng Saefuddin berada di pihak Inggris. Jadi antara saudara tiri itu berhadapan di medan perang membela pihak yang berseberangan: Kandy dan Inggris, Inggris kalah dalam perang itu. Kapten Noordeen dan Karaeng Saefuddin ditangkap oleh pasukan Kandy. Mereka diberi kesempatan untuk mengabdi kepada raja Kandy (seperti almarhum saudara tirinya, Karaeng Sangunglo). Namun, mereka menolak dan tetap setia kepada Inggris.

”Akhirnya raja Kandy memerintahkan untuk mengeksekusi kedua bersaudara itu. Mayat mereka dilempar ke hutan,” papar Suryadi.

Surat Sitti Hapipa mengungkapkan sisi-sisi kehidupan kelompok manusia yang diasingkan oleh makhluk sesamanya yang lebih kuat (orang Eropa) ke tempat yang jauh dari tumpah darahnya. Mereka adalah ”pahlawan bangsa” yang kisah kehidupannya amat jarang tersua dalam buku-buku sejarah Indonesia. (NAL)

Sumber : cetak.kompas.com (11 Agustus 2008)
Link Source :
Naskah Dinasti Gowa Ditemukan http://niadilova.blogdetik.com/

Kerukunan Keluarga Lombok (KKL) Makassar (2)

Salam RevolusiKerukunan Keluarga Lombok (KKL) Makassar
SALAM KERUKUNAN..!! Mohon Perhatian Kepada Seluruh Pengurus KKL
Makassar,.. Bahwa KKL Makassar Belum Terrangkul Dalam 20 Etnis Pada FPK
Sul-Sel And FPK Mengenal KKL Makassar Setelah Kami Perkenalkan Sa2t
Mewakili KKL Makassar Mengikuti Sosialisasi Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 34 Thn. 2006 Tgl. 23 November 2010 Di Hotel Dinasti Makas...sar..!! Jelasnya-

Dari Diskusi Pembauran Etnis Tionghoa di Makassar (Part 1)

Warga Tionghoa masih kerap dianggap esklusif di tengah kemajemukan etnis pribumi. Malah, simbol ketertutupan itu masih menghiasi rumah-rumah mereka dengan kekuatan terali besi yang terpasang di rumah-rumah mereka. Betulkah?

EKSKLUSIF dan tertutup. Itulah perspektif yang kerap muncul di kalangan etnis Tionghoa di Makassar. Mereka masih mengatur jarak untuk berbaur dengan kalangan pribumi.

Tema ini yang dikupas tuntas dalam diskusi pluralitas yang digelar di studio mini Redaksi Fajar, Selasa sore, 2 Februari.

Tokoh masyarakat Tionghoa yang juga Ketua Umum Panitia Imlek ke-2560/2010, Yonggris yang menjadi pembicara dalam dialog itu berusaha meluruskan pendapat semacam itu.

Menurut Yonggris, ada satu prinsi[ yang mesti menjadi pandangan masyarakat luar untuk menilai warga Tionghoa sesungguhnya. Yaitu kesuksesan warga Tionghoa dalam membangun bisnis.

"Tidak mungkin warga Tionghoa banyak sukses membangun bisnis kalau dianggap tertutup dan ekslusif. Membangun bisnis itu harus didasari dengan keterbukaan dan pandai bergaul dengan orang lain. Coba lihat, di daerah mana pun warga Tionghoa mendirikan usaha pasti yang bersangkutan menguasai bahasa daerah setempat, tutur Yonggris.

Yonggris menambahkan, permukiman warga Tionghoa di suatu tempat tertentu, sebenarnya itu bukan kemauan mereka. Tapi hal itu lebih didasari sikap kaum penjajah dari Belanda. Waktu itu, warga Tionghoa yang datang ke Indonesia, termasuk Makassar memang sengaja dikumpulkan di satu tempat. Tujuannya agar mereka mudah dikontrol oleh kaum penjajah itu sendiri.

"Mari kita lihat perkembangan di Makassar saat ini. Warga Tionghoa yang mendirikan rumah itu sudah tersebar di mana-mana. Kita tidak lagi hanya berkumpul di satu tempat" imbuhnya.

Wakil Ketua Pantia Arak-arakan Cap Go Meh ke-2560/2010, Jeffry Sulaiman yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut menambahkan, salah satu bukti keterbukaan warga Tionghoa saat ini adalah membangun hubungan silahturahmi di mana pun mereka berada, "Kalau ada yang baru mendirikan rumah di tempat tertentu pasti mereka membangun hubungan silahturahmi kepada tetangga terdekat." ujar Jeffry.

Namun, penjelasan dua perwakilan warga Tionghoa tersebut memancing respon beragam dari peserta diskusi maupun pendengar radio Fajar FM yang menyiarkan langsung acara ini. Basri, salah satu pendengan Fajar FM via telpon juga mempertanyakan soal model-model rumah warga Tionghoa yang agak tertutup. Selain pintu rumah yang selalu tertutup rapat, jendela rumah juga dipasang terali besi yang berlapis.

Irwan AR, peserta diskusi yang hadir di studio mini Redaksi Fajar juga mempertanyakan soal perjodohan antara warga Tionghoa dengan pribumi yang sangat jarang terjadi.

Yonggris mencoba menetralkan suasana dengan menjawab bahwa sikap ketertutupan model rumah selama ini, itu hanya dilatarbelakangi sikap mawas diri. Yonggris mengungkapkan, keamanan di negara kita saat ini memang sudah aman. Tapi perasaan tidak aman dari kalangan Tionghoa masih sulit dihindari.

"Peristiwa kerusuhan 1997 silam menjadi pelajaran. Waktu itu, sikap kami dari warga Tionghoa yang sudah berupaya terbuka betul-betul menjadi titik balik," kenangnya.

Karena itu, kata Yonggris, untuk membangun kembali kepercayaan dengan sesama warga lainnya, tokoh-tokoh Tionghoa senantiasa membangun kerja sama dengan pemerintah dan tokoh lintas etnis lainnya. Kerja sama itu di antaranya membuat even yang sifatnya bisa dihadiri suluruh lapisan masyarakat. Salah satunya adalah perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang digelar setiap tahun.

"Kami berharap melalui even seperti ini semua lapisan masyarakat hadir dan berinteraksi antara satu dengan lainnnya," harap Yonggris.

Sedangkan perjodohan antara warga Tionghoa dengan pribumi, lanjut Yonggris, sebenarnya tidak ada masalah. Pada dasarnya, warga Tionghoa sama dengan warga lainnya. Mereka juga butuh cinta dan kasih sayang. "Jadi maslah pernikahan antara warga Tionghoa dengan etnis lainnya itu cuma persoalan jodoh saja," katanya.

Karena itu, Yonggris dan Jeffry sangat berharap ke depan semua etnis yang ada lebih terbuka dan saling menghargai antara satu dengan lainnya. "Bagi kami adalah, biarkanlah perbedaan itu ada. Yang penting kita mau saling menghargai satu dengan lainnya," ujar Yonggris.

Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Sulsel, Halilintar Latief mengatakan, diskusi seperti ini sangat bagus dan dapat mendorong proses pembauran antar-etnik dalam masyarakat lebih cepat. Menurutnya, diskusi ini akan terus digalakkan ke depan. Di Sulsel, khususnya Makassar, lanjut dia, ada sekira 20 etnik dari 500 lebih suku bangsa di Indonesia. "Tujuan kita adalah bagaimana mengukuhkan indentitas sambil merawat keberagaman yang ada," ujar Halilintar.

Untuk lebih menghangatkan suasana diskusi, Forum Pembauran Kebangsaan Sulsel yang dipimpin Halilintar Latief juga menghadirkan Grup Sendratasik dari Universitas Negeri Makassar. Mereka menyelingi tiga lagu bugis Makassar yang beraliran musik Tionghoa. Yaitu lagu berjudul Ammaciang, Sailong, dan Ati Raja. Reny dkk dari Grup Sendratasik UNM sukses membawakan tiga lagu itu dengan apik. Para peserta diskusi dan awak redaksi Fajar pun memberikan aplaus khusus bagi mereka. (bersambung)

Sumber : Fajar ( Laporan : Rahim Kadir) Makassar
oleh TiongHoa Indonesia pada 02 Februari 2010

Kamis, 30 Desember 2010

FORUM PEMBAURAN KEBANGSAAN (FPK) PROPINSI SULSEL

FPK adalah organisasi yang di bentuk oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, dalam rangka terciptanya situasi aman dan terkendali khususnya di ruang lingkup Sulsel.
Organisasi ini terdiri dari 20 Etnis yang mewakili etnis yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Makassar, Bugis, Jawa, Bali, Madura, Sunda, Arab, Pakistan, Padang, Banjar, India, Toraja, Mandar, Papua, Flores, Tionghoa, Batak, Manado, Buton, dan Maluku.
Organisasi yang di ketuai oleh DR. A. Halilintar Lathief, M.Pd ini telah beberapa kali melakukan gerakan guna mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. salah satunya adalah memberikan himbauan melalui media terkemuka di Sulsel agar menerima dengan ihlas hasil Pilpres 2009 baru-baru ini.

Rabu, 29 Desember 2010

Deklarasi Damai Dicanangkan di Makassar

Makassar (ANTARA News) - Pemerintah daerah, akademisi dan masyarakat di Sulawesi Selatan mencanangkan gerakan damai yang ditandai dengan pembubuhan tanda tangan komitmen di atas kain sepenjang 100 meter, di Pantai Losari Makassar, Minggu.

Selain penandatanganan, mereka juga melepas puluhan ekor burung merpati sebagai simbol dimulainya kehidupan tanpa perseteruan, pasca terjadinya bentrokan antara pihak kepolisian dan mahasiswa di sejumlah kampus saat peringatan Hari Anti Korupsi, Kamis (9/12).

Beberapa pihak yang hadir antara lain Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang, Kapolda Sulselbar Irjen Pol Jhonny Waenal Usman, Rektor Universitas Islam Makassar (UIM) Dr Majdah Agus Arifin Nu'mang, Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin dan Kapolrestabes Makassar Kombes Polisi Nursamsu.

Dalam keterangannya, Kapolda Sulselbar Irjen Pol Jhonny Waenal Usman mengatakan, berharap usai deklarasi ini tidak ada lagi keributan yang terjadi. Sebab bagaimanapun, peristiwa keributan yang selalu terjadi di depan kampus itu akan merugikan masyarakat sebagai pihak yang tak terlibat.

Ia juga berharap diundang oleh pihak kampus di Makassar untuk berdialog dengan mahasiswa. Dialog itu, kata dia, akan banyak memunculkan persamaan-persamaan prinsip antara mahasiswa dan kepolisian sehingga bisa mengeleminir potensi bentrok.

Dia mengatakan, sebenarnya penanganan bentrokan di Makassar yang paling tidak keras. Sebab polisi hanya menggunakan cara-cara persuasif dan peluru karet jika terpaksa. Di daerah lain, polisi sudah menggunakan peluru tajam dalam situasi yang sama di Makassar.

"Ini belum apa-apa sebenarnya. Karena kami sayang dengan adik-adik mahasiswa," ujarnya.

Sementara itu, Walikota Makassar Ilham Arf Sirajuddin mengatakan, mahasiswa Makassar sebaiknya mengakui kesalahannya telah berbuat anarkis saat unjuk rasa. Dengan demikian, aparat, mahasiswa dan pemerintah bisa duduk bersama untuk membicarakan solusi yang dihadapi kedua pihak.

"Sekali-sekali berbesar hatilah. Akui saja kesalahan supaya semuanya jadi tenang," kata Ilham.

Bentuk pengakuan itu bisa dilakukan secara simbolik dengan membantu aparat kepolisian membersihkan puing-puing pos polisi yang telah dirusak saat aksi anarkis lalu. Ilham mengatakan soal dana pembersihan, mahasiswa tidak perlu khawatir sebab Pemkot Makassar yang akan menyiapkan.

"Hanya saja upaya itu jangan hanya dilakukan oleh satu kampus saja, melainkan dilakukan kampus-kampus lain di Makassar.

Dalam kegiatan itu, panitia menyayangkan sejumlah pimpinan kampus besar yang mahasiswanya sering bentrok dengan aparat keamanan tak menghadiri acara tersebut tanpa alasan jelas. Padahal mereka telah telah diberi undangan khusus oleh panitia pelaksana.

Pimpinan kampus tersebut antara lain dari Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, Universitas Muslim Indonesia dan Universitas Islam Negeri Alauddin. (T.KR-AAT/S016)


COPYRIGHT © 2010 AntaraNews

1.250 Arwah Dibakar di Tanah Tumbuh Losari

1.250 Arwah Dibakar di Tanah Tumbuh Losari
MAKASSAR - ULAMBANA 2010. Seorang pengunjung melintas di dekat pembakaran arwah (ulambana) 2010 di Makassar, Selasa (24/8). Pembakaran 1250 arwah tersebut dilakukan untuk mengantarkan para arwah ke syurga. (FOTO/ANTARA/Yusran Uccang)
Makassar (ANTARA News) - Sebanyak 1.250 miniatur arwah para leluhur masyarakat Tionghoa di bakar di kawasan tanah tumbuh Pantai Losari, Makassar, Selasa.

Ratusan masyarakat penganut agama Budha di Makassar mengarak sebuah perahu yang berisi miniatur bangunan Klenteng yang dihiasi kertas warna-warni, lampu-lampu dan miniatur dewa-dewa Budha dari Klenteng Xiang Ma menuju arah kawasan Pantai Losari Makassar.

Miniatur kertas ukuran 3 X 4 meter itu di taruh di atas tanah tumbuh yang dikelilingi tumpukan kertas dan gabus yang kemudian dibakar sebagai bentuk kepercayaan penganut Budha tentang pelepasan arwah orang tua maupun leluhur mereka yang telah pergi.

Mereka meyakini para arwah telantar yang tak dirawat keluarganya akan menderita di alam akhirat, sehingga pembakaran uang kertas, miniatur rumah-ramahan dan kebutuhan lainnya sebagai bentuk penghormatan maupun persembahan mereka kapada sang leluhur.

Menurut Ketua Panitia Perayaan Ulambana di Makassar Kusnaeri Sally di Makassar, Rabu, ritual tahunan itu memang sering digelar sejak 15 hingga 30 bulan 7 (Djit Gwee) penanggalan Imlek.

"Dalam perayaan ini, orang mengirim doa untuk para leluhur dengan membakar uang dan replika kebutuhan yang bisa digunakan para arwah di alam sana," ungkap dia. 

Banyak juga masyarakat Tionghoa yang menganggap bulan ini adalah bulan hantu atau bulan keluarnya para arwah gentayangan.

Sehingga perlu dilakukan pembakaran untuk melepaskan para arwah sambil menunggu "Dewi Kwan Im" yang berwujud setan dengan lidah terjulur ke tanah.

Adanya patung kertas Dewi Kwan Im yang dibuat dalam replika perahu dan klenteng itu supaya para arwah tertib dan tidak berebutan menerima persembahan dari anak/cucu, karena perayaan Ulambana kerap juga di sebut sebagai King Hoo Ping atau "Sembahyang Rebutan.
(T.KR-HK/S016)
COPYRIGHT © 2010 AntaraNews

Sulsel Miliki Rumah Forum Komunikasi Antar Etnis

Makassar (ANTARA News) - Sulawesi Selatan memiliki forum komunikasi antar etnis sebagai wadah komunikasi untuk mengantisipasi dan menghindari terjadinya konflik.

Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo di Makassar, Senin, mengatakan, pembentukan wadah komunikasi ini merupakan  representasi kongkrit untuk menjaga keutuhan dan karakter bangsa serta kerukunan umat. Meski demikian ia mengakui, forum ini masih membutuhkan sosialisasi yang panjang.

''Diharapkan forum ini menjadi jawaban dari kegundahan dari kejadian-kejadian yang selama ini meresahkan,''ujarnya sembari mengatakan, masih menerima telepon dari Menko Kesra Agung Laksono dan  mantan Wakil Presiden  Jusuf Kalla yang menanyakan tentang kejadian tawuran terakhir di Makassar.

Forum ini diharapkan menjadi bagian dari membangun ikatan emosional dan bagian dari kewajiban negara untuk menghadirkan ketenteraman.

''Mudah-mudahan apa yang dicanangkan bisa berjalan dan mendukung pembangunan karakter bangsa,'' ujarnya.

Kepala Kesbangpol dan Linmas Tautoto Tana' Ranggina Sarongallo mengatakan, wadah forum komunikasi yang bernama Rumah Nusantara ini telah diwacanakan sejak tiga tahun lalu sebagai rumah komunikasi antar etnis yang diusulkan oleh forum pembaruan.

''Hal ini adalah upaya pemerintah menyatukan seluruh etnis untuk menghindari dan mengantisipasi konflik antar etnis karena sudah ada tempat komunikasi,'' katanya.

Pembentukan dan peresmian Rumah Nusantara didukung kebijakan Gubernur Sulsel dan menggunakan alokasi anggaran kegiatan badan kesatuan bangsan dan politik pada APBD 2010, serta surat keputusan gubernur tentang pembentukan dan pembinaan forum pembauran kebangsaan.

Sekretariat Rumah Nusantara Forum Pembauran Kebangsaan Sulsel terletak di Jalan RSI Faizal No.1 Ruko Ambassador. (T.KR-RY/S016)
COPYRIGHT © 2010

FPK: Jangan Ada Kedengkian Antar Etnis

Makassar (ANTARA News) - Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) kota Makassar meminta seluruh etnis yang ada di daerah itu tidak memunculkan rasa iri dan dengki dengan suku maupun etnis lainnya.

"Jangan lagi ada rasa iri dan dengki antaretnis, hanya karena etnis lainnya berhasil dalam mengembangkan suatu bidang tertentu," ungkap Ketua Dewan Penasihat Forum Kerukunan Umat Beragama dan ketua Dewan FPK Makassar, H. Supomo Guntur di Makassar, Kamis.

Supomo yang juga menjabat sebagai Wakil Wali Kota Makassar ini menganjurkan agar antaretnis bisa saling memahami dan saling mengisi antar satu sama lainnya untuk bisa berkembang dan membangun daerah ini secara bersama-sama.

Dia mencontohkan, keberhasilan tata kelola etnis Tionghoa di Makassar dalam mengembangkan bidang ekonomi dan budaya seharusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi etnis-etnis lainnya untuk saling belajar dan memahami satu sama lain.

"Etnis Tionghoa umumnya sukses di bidang usaha karena mereka punya manajemen perdagangan yang bagus, demikian pula umumnya etnis Jawa sukses dalam usaha seafood, karena mereka pintar dalam meracik masakan," ujar Supomo saat membuka Sosialisasi Peningkatan Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama dalam Kehidupan Beragama Bagi tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat tingkat Kota Makassar Tahun 2010.

Sosialisasi yang diselenggarakan oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Makassar ini juga mengukuhkan 16 pengurus dan anggota Forum Pembauran Kebangsaan kota Makassar.

Selain itu, wakil wali kota juga meminta kepada tokoh lintas agama, etnis maupun masyarakat bisa berperan aktif menumbuhkan partisipasi masyarakat akan pentingnya kebersihan di lingkungan sekitar mereka.

Bahkan dikatakannya, kebersihan itu adalah kebutuhan bersama, tidak hanya menggantungkan program tersebut kepada pemerintah saja.

Namun, seluruh elemen masyarakat, swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) yang ada di Kota Makassar untuk turut peduli dalam permasalahan kebersihan dan lingkungan yang sehat.

Dalam Sosialisasi itu hadir sebagai pembicara Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, H. Bahri Mappiase, Kapolwiltabes Makassar, Haerul Anwar, Ketua FKUB Kota Makassar, Prof.Dr.H.M.Galib M,MA, serta Prof. Dr.H.Musafir Pababbari,M.Si.

Sosialisasi ini dihadiri sebanyak 80 orang sebagai peserta, yang terdiri atas 20 orang anggota dan pengurus FPK dan 60 Tokoh Agama dan Ketua RW se-kota Makassar.(T.KR-HK/Z002)
COPYRIGHT © 2010

Yang Tersisa dari Patingngaloang

Jalan berlumpur. Pohon-pohon yang tumbuh rindang dan rumah adat yang tak terawat. Somba Opu begitu saya melihatmu dalam keadaan yang tergerus, merintih, dan terabaikan.

Awal Desember 2010, begitu ketika saya menyapamu dengan lelehan lumpur yang melengket di ban motor. Truk-truk pengangkut bahan galian, suara-suara mesin gerinda, pecikan cahaya las, dan adukan-adukan semen. Saya ketakutan.

Kini kau seperti petapa yang kena strok, tak mampu lagi bergerak, kau tak tak mampu beringsut. Orang-orang yang menjagamu pun tak kuat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengeluh dan menghardik. Kini Somba Opu, kau itu maksudku  sekarang dirusak setelah sekian lama menderita dalam kesendirian. Kau meradang sebelum kau berdiri tegak dengan baik.

Saya tahu kau meradang pertama kali pada 18 November kau tertunduk terkulai di depan para kompeni. Kau diluluhlantakkan oleh meriam-meriam dan tembakan para serdadu yang membenci keagunganmu. Itu, tepat sebulan yang lalu dengan tahun yang berbeda, ketika Hasanuddin menyerahkanmu pada 1667 di perjanjian Bungaya.

Kini saya hanya bisa mengenangmu lewat lembaran buku yang terselip di rak-rak teman. Di tempat itu, kau pernah melahirkan seorang pemimpin yang piawai, cerdas dan berani. Karaeng Pattingaloang. Raja jenius yang punya perpustakaan besar, yang ‘gila’ dengan ilmu pengetahuan. Pattingaloang membawa teleskop Galileo dan atlas (globe) besar ke tempatmu. Orang-orang seluruh kampung mengerebuti ketika bola dunia itu merapat dengan kapal besar di pelabuhan.

Ada juga meriam polong yang kau selipkan, meski sudah melengkung tapi tetap membuatku merinding saat mengunjunginya. Meriam itu diciptakan anakmu si jenius Pattingaloang. Dia memotongnya untuk membuat jarak tempuh tembakannya semakin jauh dan punya suara yang menggelegar. Itulah kenapa jika dia meletuskannya maka para musuh akan merinding mendengar gelegarnya.

Somba Opu kau sempat terjaga dengan itu. Tapi ketika Hasanuddin tak sanggup menjagamu, pemimpin yang kau lahirkan sendiri dari rahimmu jauh setelah si jenius Pattingaloang berdiri tegak, kau pun khawatir. Belanda si kompeni itu, mendatangi rahimmu, menembaknya dari dalam dan luar, kau terkapar dengan ratusan ribu anak-anakmu. Tapi meriam itu yang sekarang berada di temat kecil, kini sendirian juga. Seperti anak-anakmu yang menjagamu tak ada yang tahu dan mengirimkan doa. Meriam itu dibakar oleh para kompeni hingga melengkung.

Kini saya mengenangmu sekali lagi dengan ingatan yang sangat terbatas. Berdiri dengan tegang. Kita sama-sama mengeluh. Kau mengeluh dan saya tak kurang khawatir. Kini kau akan dibombardir seperti kisahmu yang dramatis pertama kali.

Water boom, taman satwa, dan tempat outbound. Apakah kau terhibur dengan itu? Apakah kau senang karena akan banyak orang yang mengunjungimu? Ataukah kau merasa terusik dengan pembangunan baru itu?

Saya bertemu dengan kawan anak-anakmu yang katanya mengenalmu secara dekat. Namanya iwan Sumantri. Dia mempelajari rahimmu dengan ketekunan ilmunya. Kau memang senang, itu seperti membuka ingatan pada si jenius Pattingaloang.

Dia banyak menjelaskan pada saya pada apa yang kau senangi dan tidak kau senangi. Iwan mengatakan, seharusnya dimasa tuamu kau harus istirahat dengan tenang. Hiburanmu harus jelas dengan apa yang dicita-citakan Pattingaloang. Pendidikan dan kemapanan otak. Saya senang mendengarnya.

Dan kau mulai berbaring kembali. Semua yang kau butuhkan dijanjikan padamu. Ingatkah kau ketika kubisiki melalui rahimmu lewat tapa-tapak sendalku dalam dua pekan ini? Kini kau tak sendiri. Ketika saya beranjak pulang, saya menitipkan pesan untuk dari seorang kawanmu yang lainnya, Andi Muhammad Said. Tapi kau sudah sedikt lupa dengannya.

Dan kau memintaku untuk bercerita ulang tentangnya. Muhammad Said, adalah kepala balai Peninggalan dan Pelestarian Purbakala Makassar. Dialah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Dan yah, kau bilang itu anakku, kau sungguh bersahabat mendengar namanya.

Tapi ketika satu persatu kusampaikan hasil ceritaku padamu tentang dia, kau mulai murung lagi. Muhammad said, kataku padamu waktu itu, tak banyak bercerita tentang kebesaranmu. Dia seperti takut dan hanya bilang pembangunan itu akan membuatmu terhibur.

Pada 18 Oktober 2010, beberapa orang yang tak kau kenal mendatangimu dan menginjak-nginjak rahimmu. Mereka hendak membangun sebuah tempat permainan. Biayanya sungguh besar mencapai Rp40 miliar.

Dan apa yang harus kuperbuat. Kau hanya memintaku menulis keluh kesahmu. Dan itu kulakukan, meski tak cukup baik tapi akan kusampaikan. Minggu, 19 Desember 2010 pada siang yang hujan kau mengajakku berjalan-jalan dengan santai. Kau tunjuk sebuah titik yang ada bangunan pabrik pengelohan sampah di rahimmu. Kau mengatakannya, itu dibangun beberapa tahun lalu, dan anak-anakmu yang katanya mencintaimu tak melihatnya. Saya pun hanya tertegun.

 Somba Opu, seperti namamu akan kukenang kau dengan perasaan yang terdalam. Akan kusampaikan cerita itu kelak pada keturunanmu.