Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Rabu, 12 Januari 2011

Cerita Roadshow dari Makassar



Indriani Widiastuti (Program Officer The Interseksi Foundation)

roadshow_makassar
Ini adalah kali pertama Yayasan Interseksi mengadakan acara di luar pulau Jawa dan kami berangkat sebagai tim, tidak sendiri-sendiri seperti ketika kami melakukan penelitian. Kota tujuan roadshow kami yang pertama adalah Makassar, Sulawesi Selatan. Sengaja kami tiba sehari sebelum acara, agar kami dapat mempersiapkan acara ini semaksimal mungkin. Ternyata, kehadiran kami yang lebih awal juga mendatangkan berkah, karena kami dapat mengikuti sebuah diskusi yang menarik tentang keberagaman di Rumah Nusantara. Sedikit informasi tentang Rumah Nusantara, lembaga ini terbentuk dari bermacam kelompok etnis di Makassar dan bertujuan untuk menjadi jembatan komunikasi antar budaya dan kelompok sosial yang ada di sana.

screening
Sore itu, beberapa pembicara, di antaranya Dr. Andi Halilintar Lathief dan Ishak Ngeljaratan, M.A (kedua tokoh yang diundang untuk menjadi pembicara di roadshow kami) menyuguhkan sebuah perbincangan yang menarik. Meskipun demikian, kami yang sedikit kelelahan di perjalanan dan mulai dihinggapi kantuk, merasa kesulitan untuk menyimak diskusi itu dengan baik. Namun, tidak lama kantuk itu hilang ketika para panelis membicarakan soal sarung. "Sarung? Kok sarung yang dibahas?" pikir saya. Mata dan telinga saya mulai terbuka, ketika Dr. Halilintar Lathief (atau lebih akrab disapa Pak Halil) mulai menerangkan tentang fungsi sarung sebagai pengganti kamar di masyarakat Bugis. Jadi, para orang tua yang membutuhkan "ruang pribadi", mereka menggunakan kain agar tidak terlihat oleh anak-anak. Lain di Bugis, lain lagi di Minang, ternyata ukuran sarung yang lazim dipakai sekarang sempat menjadi masalah di masyarakat Minang yang terbiasa mengenakan sarung hingga batas dada, sedangkan ukuran sarung sekarang panjangnya akan pas jika dikenakan di perut. Kami pun tertawa.

Rabu, 29 September 2010, saat yang mendebarkan tiba. Pagi-pagi kami bergegas ke Universitas Negeri Makassar, kampus yang diberitakan sebagai kampus teranarkis tingkat nasional. Sesampainya di sana, kami tidak melihat tanda-tanda keliaran mahasiswa seperti di salah satu film peserta Crossing Boundaries, Paul. Bekas-bekas kerusuhan antar fakultas sekarang sudah berganti menjadi sebuah gedung tinggi yang masih belum selesai dibangun. Mahasiswa-mahasiswa dengan jaket almamaternya terlihat bergerombol di bawah spanduk mini roadshow kami. Kami sedikit lega, karena keadaan kampus tenang hari itu.

narasumber
Waktu menunjukkan pukul 09.30 ketika kami mulai memutarkan film pertama, "Sutadi Sudah Tak di Sini", yang disambung dengan "Tamil" dan "Sebelum Subuh". Di sela-sela pemutaran kami memberikan sedikit penjelasan mengenai film yang akan diputar, baik latar belakang pembuatannya maupun tentang pembuat filmnya. Siswa-siswi SMA yang kami undang untuk hadir, datang beramai-ramai dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tajam pada sesi tanya jawab. Kami memberikan kejutan kepada hadirin yang telah berpartisipasi dalam diskusi berupa dua buah DVD kompilasi film Crossing Boundaries. Pemenang DVD ini adalah pilihan narasumber.

Dalam sesi diskusi, dua pembicara melihat video-video yang telah diputar dari dua perspektif yang berbeda bahkan bertolakbelakang. Sambil tetap memberi apresiasi pada upaya pemanfaatan medium video untuk menyebarkan pesan perdamaian, Ishak Ngeljaratan memberi kritik cukup tajam pada beberapa aspek seperti terlalu pendeknya durasi masing-masing video, kedalaman isu yang ditampilkan, dan aspek-aspek lain yang secara konvensional menjadi ukuran video dokumenter yang dikerjakan oleh kalangan profesional. Di pihak lain, Halilintar Latief justru tidak banyak mempersoalkan aspek-aspek semacam itu, melainkan lebih pada relevansi tema-tema yang diangkat dalam video-video tersebut dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Makassar, dewasa ini. Pertanyaan-pertanyaan peserta merentang panjang dari mulai pertanyaan tentang pesan apa yang ingin disampaikan sampai pada soal-soal teknis editing film.

rumah_nusantara
Keesokan harinya, 30 September 2010, roadshow berikutnya berlangsung di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar. Beberapa saat sebelum kami tiba di Makassar, telah terjadi pembekuan sementara Badan Eksekutif Mahasiswa kampus UIN karena permasalahan internal antara mereka dan pihak kampus. Tentu saja hal ini membuat kami khawatir, karena kami banyak mengandalkan bantuan dari pihak BEM. Namun kami harus bersyukur karena tim lokal roadshow di sana sangat sigap dan cekatan, mereka membentuk tim baru lagi dan mengambil alih tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan oleh panitia BEM. Cuaca yang tidak menentu, tidak menghalangi pemutaran film ini, justru kami diuntungkan oleh hujan yang tiba-tiba turun deras sekali di akhir pemutaran. Hal ini terbukti mampu menahan penonton untuk tetap berada di dalam ruangan.

Salah seorang narasumber diskusi, Wahyuddin Halim dari Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, menggarisbawahi keberhasilan utama program Crossing-Boundaries 2010 ini dari sisi bagaimana melalui video-video yang telah dibuat program tersebut berusaha mengangkat sejarah orang-orang biasa atau orang kebanyakan yang justru jarang diungkap oleh film-film komersial atau media massa mainstream. Subjek-subjek dalam video-video tersebut bukanlah orang-orang terkenal melainkan orang-orang yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari seperti tukang ojeg speda, penjual sayur di pasar, atau suasana dalam kedai tuak (lapo).

diskusi
Sungguh di luar perkiraan, antusiasme masyarakat Makassar terhadap program lintas budaya sangat besar. Setelah selesai mengadakan roadshow di kampus-kampus, Yayasan Interseksi diminta untuk mengadakan diskusi dengan topik serupa, namun dengan skala yang lebih kecil di Rumah Nusantara. Menurut salah seorang peserta diskusi, langkah Interseksi dalam mengadakan program seperti Crossing Boundaries sudah selangkah lebih maju daripada yang telah dilakukan oleh mereka di Makassar, yang baru memulai tahap-tahap pembentukan wacana tentang pentingnya memelihara sikap saling hormat antar kelompok sosial. Mereka sangat mendukung kegiatan ini dengan mulai bersemangat untuk meneruskan pembuatan film tentang seorang anak perempuan dari pemimpin adat komunitas adat Kajang yang sedang bergelut dengan tarik-tolak antara tradisi yang membesarkannya di dalam komunitas dan tantangan-tantangan baru yang dihadapinya di luar ketika ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Makassar. Halilintar Latief bahkan sempat mendiskusikan pembuatan video lintas-budaya sebagai salah satu upaya melihat bagaimana masing-masing kelompok mengekspresikan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar