Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Rabu, 12 Januari 2011

Dari Workshop Pra-Produksi Interseksi Jakarta

DSC_0030
Siang hampir habis ketika rombongan berangkat dari halaman kantor Interseksi di Taanjung Barat, Jakarta Selatan, menuju GG. House Happy Valley di wilayah Gunung Geulis, Bogor, tgl. 9 Juni 2010 yang lalu. Rombongan terdiri dari beberapa peserta yang akan mengikuti Workshop Pra-produksi dan Diskusi tentang Relasi Antar Kelompok Sosial program Cross Culture Video Making Project for Peace: Crossing Boundaries 2010. Keberangkatan sempat tertunda beberapa jam, karena masih banyak urusan administrasi yang harus diselesaikan. Untungnya para peserta cukup sabar menunggu dan melewatkan waktu sambil mengobrol sesama mereka. Kami juga mendapat berita sangat mengejutkan: salah seorang peserta, Erwin dari Palu, mendadak membatalkan keikutsertaannya dalam program pelatihan ini karena harus dirawat di rumah sakit pada hari itu juga. Padahal panitia sudah merencanakan semua keperluannya selama mengikuti program ini. Akibatnya, kami harus membatalkan paling tidak tiga tike pesawat atas nama Erwin, sekaligus harus mencari peserta pengganti yang sangat tidak mudah. Pencarian ini baru membuahkan hasil pada hari-hari terakhir pelaksanaan workshop. Untuk Erwin kami menyampaikan simpati dan doa agar cepat sembuh seperti sedia kala.

Tiba di lokasi sekitar jam 19.20, dan ternyata salah seorang peserta, Raja T. Umar dari Aceh, sudah sampai terlebih dahulu di sana. Umar memilih langsung datang ke lokasi workshop dari bandara Sukarno-Hatta dan tidak berangkat bersama rombongan dari kantor Interseksi. Karena hari pertama memang sengaja dimaksudkan untuk memberi bagi para peserta waktu yang cukup untuk beristirahat, kami tidak mengadakan banyak acara malam itu selain makan malam bersama. Malam makin pekat ketika beberapa orang peserta workshop yang lain menyusul tiba di lokasi. Prof. P. M. Laksono, langsung berangkat ke lokasi dari perjalanannya ke Kambodia, dan masih terlihat cukup segar meskipun jarak yang sudah ditempuhnya seharian itu pasti sangat melelahkan. Acara malam itu ditutup dengan pemutaran film pelopor neorealisme Italia, Bicycle Thief (Ladri di Biciclette) dari sutradara Vittorio De Sica dan diproduksi pada tahun 1948. Ceritanya didasarkan pada novel berjudul sama yang ditulis oleh Luigi Bartolini dan diadaptasi ke dalam layar lebar oleh Cesare Zavattini. Film ini telah mendapatkan banyak penghargaan internasional, dan sering dianggap sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat.

Secara resmi acara dibuka pada tgl. 10 Juni 2010 pagi. Direktur Yayasan Interseksi, Hikmat Budiman, membuka acara dengan memaparkan latar belakang pelaksanaan program, tujuan yang ingin dicapai, dan misi utama kegiatan untuk membangun dan memilihara sikap saling menghortmati antar kelompok sosial dalam masyarakat Indonesia. Untuk dapat menumbuhkan sikap saling menghormati, individu-individu yang berasal dari kelompok yang berbeda harus berusaha saling mengenal kehidupan kelompok di luar kelompoknya sendiri. Karena itulah program ini dirancang agar para pesertanya berani melintasi batas-batas kultural kelompoknya, dan pergi masuk ke dalam kehidupan kelompok yang berbeda. Budiman menjelaskan bahwa medium video (audio-visual) sengaja dipilih karena dalam beberapa hal ia lebih efektif menyampaikan pesan kepada khalayak ramai.

Selama tiga hari pertama, workshop diisi dengan diskusi tentang problem relasi antar kelompok sosial di Indonesia, presentasi peserta program, dan apresiasi atas film-film dokumenter dari berbagai negara. Tidak kurang dari 10 film dokumenter diputar dan didiskusikan selama workshop, baik yang berdurasi pendek (sekitar 10 menit) sampai yang sangat panjang (sekitar 2 jam). Setiap selesai pemutara film, fasilitator akan mengajak peserta mendiskusikan aspek-aspek paling relevan dari film-film tersebut yang bisa dijadikan pelajaran bagi para peserta.

Dalam diskusi tentang problematik relasi antar kelompok di Indonesia, Prof. Laksono memaparkan banyak dimensi penting yang perlu diperhatikan dalam konteks semacam itu. Ia juga menggarisbawahi bahwa film atau video dapat menjadi media yang sangat baik untuk menumbuhkan saling pengertian antar sesama warga bangsa. Yang penting disadari adalah fakta bahwa teknologi video di dalam dirinya sendiri membawa nilai-nilai yang berbeda dengan masyarakat tempatan. Di kampus universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof. Laksono sudah sejak beberapa tahun yang lalu merintis program penelitian antar-budaya, yang langsung atau tidak, merupakan inspirasi awal dari program Cross-culture Video Project for Peace ini. Dalam presentasinya, Prof. Laksono juga menampilkan beberapa contoh video yang dibuat oleh mahasiswanya yang berusaha menampilkan aspek-aspek paling biasa dalam kehidupan sehari-hari masyaakat Indonesia. Yang menjadi persoalan, demikian Prof. Laksono, adalah bagaimana kita bisa menampilkan hal-hal biasa dalam cara yang juga biasa, tidak dibuat-buat.

Dua hari berikutnya, Dr. Fikarwin Zuska, antropolog senior dari Universitas Sumatra Utara, Medan, memaparkan problematik relasi antar kelompok sosial dalam konteks masyarakat kontemporer di kota Medan. Banyak data menarik yang disuguhkan Dr. Zuska, salah satunya adalah data tentang komposi penduduk kota Medan berdasarkan etnis. Berbeda dengan anggapan umum, mayoritas warga kota Medan bukanlah etnis Batak melainkan Jawa. Dr. Zuska juga mengurai dengan sangat baik bagaimana Medan yang dikenal dengan kantong-kantong budaya berdasarkan pengelompokan etnis itu sejauh ini bisa terhindar dari konflik kekerasan dalam skala luas dan terbuka.

Pada hari yang sama, Dr. Halilintar Latief, antropolog dari Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, mengajak peserta untuk mendiskusikan aspek-aspek kultural dari masyarakat yang hidup di wilayah Sulawesi Selatan. Dr. Latief secara fasih menjelaskan perbedaan karakteristik dari beberapa etnis yang hidup di wilayah tersebut seperti Bugis, Makassar dan Mandar. Dalam diskusi, peserta juga tidak lupa menanyakan alasan-alasan mengapa kota Makassar belakangan ini banyak diwarnai oleh kerusuhan massal. Secara keseluruhan paparan Dr. Latief dan Dr. Zuska benar-benar sangat membantu peserta yang akan melakukan pembuatan video di Medan dan Makassar. Di luar forum diskusi, mereka tampak serius bertanya tentang banyak hal kepada dua orang narasumber tersebut.

Selanjutnya, workshop diarahkan untuk membahas detail dan teknis pembuatan film dokumenter. Setiap hari peserta diberi tugas menyempurnakan naskah konsep yang akan dijadikan acuan dalam pembuatan video dokumenter di lapangan. Pada dua hari terakhir, peserta melakukan praktek latihan pengambilan gambar dengan kamera video di kawasan pasar Cisarua, Bogor. Setiap kali sehabis melakukan praktek pengambilan gambar, masing-masing peserta diharuskan mempresentasikan hasilnya, yang lantas didiskusikan bersama dengan sesama peserta yang lain. Targetnya adalah membuat sebuah film pendek yang terdiri dari gabungan footage yang dihasilkan semua peserta selama praktek di lapangan.

Workshop berakhir pada tgl. 16 Juni 2010 jam 2 siang. Seluruh peserta kembali ke Jakarta untuk mempersiapak keberangkatan ke lokasi pembuatan video yang sesungguhnya di Medan, Jakarta, dan Makassar. Pembuatan video akan berlansung sampai tgl. 30 Juni 2010, dan segera setelah itu, pada tgl. 1-10 Juli peserta akan dikumpulkan kembali dalam workshop Pasca-produksi di tempat yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar