Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Jumat, 14 Januari 2011

Jamu Tradisional Tionghoa yang Digemari

Senin, 10-01-2011

Sejak zaman dahulu, Suku Tionghoa di berbagai kota di Indonesia menjadi pedagang. Upaya mempertahankan hidup yang dramatis namun bertanggung jawab itu merupakan sebuah episode pada babak dinamika ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia.
Suku Tionghoa menggerakkan ekonomi dari berbagai sisi. Dari yang kecil hingga skala besar. Dari pedagang kelontong hingga agen perjalanan laut, dan sebagainya.

Salah satu yang terkenal yakni Jamu Nyonya Lim Seng Tjoan, yang dikelola secara industri rumah. Dinamakan industri rumah karena sejak bahan datang diperoleh dari pemasok di sekitar lereng Gunung Ciremai.
Menurut Liem Hwat Thay (67), cucu Nyonya Liem Seng Tjoan, usaha jamu tradisinya memang sampai kini masih bertahan, bahkan hanya tersisa di 2 (dua) tempat, yakni jamu miliknya dan Jamu Nyonya So, namun perpu-tarannya tidak seramai tahun 1970 – 1980 an. Kini Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan ha-nya mengolah ramuan sebesar 600 kg bruto, untuk masa ka-daluarsa 6 (enam) bulan.
Artinya setiap 6 (enam) bulan produksi jamunya diperbarui. Itu sebabnya setiap kali ada pemeriksaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Dinas Kesehatan setempat, produksi jamunya tergolong layak jual dan tidak berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Kendala yang muncul menurut suami Kwa Lian Tjun (63) ialah tentang regenerasi peracikan jamu. Katanya, “Anak-anak tidak ada yang bisa meramu (meracik) bahan baku jamu bagi sebuah penyakit. Padahal saya sudah mengajarkan, tapi minat anak mantu kepada usaha jamu tradisional semakin berkurang”.
Ia khawatir sepeninggalnya nanti, apakah Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan yang diba-ngun neneknya pada tahun 1930 ini akan tetap ada atau sebalik-nya. “Anak mantu tidak ada yang mampu meracik adonan jamu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar