Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Rabu, 29 Desember 2010

Membelot karena Jiwanya Memberontak


Diskusi Rumah Nusantara di Tribun (2-selesai)

Rabu, 14 Juli 2010 | 06:13 WITA

Meski kebesaran kisah heroik Sultan Fakhruddin dan Karaeng Sangunglo tidak terlacak dalam rekaman pribumi, bahkan mungkin namanya tak tercatat dalam silsilah kerajaan Gowa saat ini, namun ada pelajaran besar yang terselip dan coba diajarkan olehnya.
Saat Sultan Fakhruddin mengajarkan kepada kita arti sebuah ketenangan jiwa, saat jiwa dan hatinya gundah akibat maraknya intrik yang dilakukan oleh keluarga dan tekanan kolonial Belanda.
Watak dan kebesaran hati Sultan Fakhruddin menjadi bahan perbincangan dalam diskusi  Rumah Nusantara di Tribun, Senin (12/7), yang menghadirkan menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies,Suryadi.
Sultan Fakhruddin memilih meninggalkan segala kebesaran dan kekuasaan yang dimilikinya dan memilih untuk tinggal di tanah seberang tempat kelahiran ibunda tercintaya, Bima. Apa yang dilakukannya mengajarkan kita bahwa ketenangan jiwa lebih berharga ketimbang harta bendanya.
Ayah Sultan Fakhruddin adalah Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) dan ibunya adalah Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga ri Pasi alias I Mappaurrangi (1711-1713).
Pada suatu hari, di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia.
Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon. Pada tahun itu juga (1676) Sultan Fakhruddin sampai di tanah pembuangan yang jauh itu.
Di Ceylon, Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Putra sultan Fakhruddin, Karaeng Sangunglo memilih membelot karena jiwanya memberontak terhadap perlakuan keji Belanda kepada pribumi dan bergabung dengan pasukan Kandy.
Sekalipun harus meninggalkan jabatan dalam militer Belanda saat itu, Karaeng Sangunglo telah mengajarkan bahwa jabatan bukan satu-satunya jaminan untuk membuat manusia dikenang oleh generasi berikutnya.
Pembelotan yang dilakukan oleh Karaeng Sangunlo bukan berarti tidak patuh kepada `tuannya', tapi karena hatinya tidak tega menyaksikan kesema-menaan yang dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa pribumi Srilanka.
Istri kedua Sultan Fakhruddin, Sitti Hapipah, Ibu tiri Karaeng Sangunglo jelas sekali menggambarkan sosok perempuan cerdas nan terpelajar, mengetahui baca tulis, penanggalan, bahkan dengan struktur kalimat Arab Melayu.
Surat Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] yang kini tersimpan di Perpustakaan  Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek Leiden), Belanda. Menurut Edwin Wieringa (1998:391) Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] adalah  letter from Sitti Hapipa at Ceylon, widow of the exiled Sultan Fakhruddin of Go[w]a, to the Governor General and the Raad van IndiĆ«, dated Kolombo, 3 Januari 1807; received at Batavia 29 May 1807."(adin)
 
( Muh Izzat Nuhung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar