Sekolah Budaya - Kine Klub - Serambi Nusantara - Lego Lego - Pustaka Budaya - Cafe Nusantara

Jumat, 31 Desember 2010

Dari Diskusi Pembauran Etnis Tionghoa di Makassar (Part 1)

Warga Tionghoa masih kerap dianggap esklusif di tengah kemajemukan etnis pribumi. Malah, simbol ketertutupan itu masih menghiasi rumah-rumah mereka dengan kekuatan terali besi yang terpasang di rumah-rumah mereka. Betulkah?

EKSKLUSIF dan tertutup. Itulah perspektif yang kerap muncul di kalangan etnis Tionghoa di Makassar. Mereka masih mengatur jarak untuk berbaur dengan kalangan pribumi.

Tema ini yang dikupas tuntas dalam diskusi pluralitas yang digelar di studio mini Redaksi Fajar, Selasa sore, 2 Februari.

Tokoh masyarakat Tionghoa yang juga Ketua Umum Panitia Imlek ke-2560/2010, Yonggris yang menjadi pembicara dalam dialog itu berusaha meluruskan pendapat semacam itu.

Menurut Yonggris, ada satu prinsi[ yang mesti menjadi pandangan masyarakat luar untuk menilai warga Tionghoa sesungguhnya. Yaitu kesuksesan warga Tionghoa dalam membangun bisnis.

"Tidak mungkin warga Tionghoa banyak sukses membangun bisnis kalau dianggap tertutup dan ekslusif. Membangun bisnis itu harus didasari dengan keterbukaan dan pandai bergaul dengan orang lain. Coba lihat, di daerah mana pun warga Tionghoa mendirikan usaha pasti yang bersangkutan menguasai bahasa daerah setempat, tutur Yonggris.

Yonggris menambahkan, permukiman warga Tionghoa di suatu tempat tertentu, sebenarnya itu bukan kemauan mereka. Tapi hal itu lebih didasari sikap kaum penjajah dari Belanda. Waktu itu, warga Tionghoa yang datang ke Indonesia, termasuk Makassar memang sengaja dikumpulkan di satu tempat. Tujuannya agar mereka mudah dikontrol oleh kaum penjajah itu sendiri.

"Mari kita lihat perkembangan di Makassar saat ini. Warga Tionghoa yang mendirikan rumah itu sudah tersebar di mana-mana. Kita tidak lagi hanya berkumpul di satu tempat" imbuhnya.

Wakil Ketua Pantia Arak-arakan Cap Go Meh ke-2560/2010, Jeffry Sulaiman yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut menambahkan, salah satu bukti keterbukaan warga Tionghoa saat ini adalah membangun hubungan silahturahmi di mana pun mereka berada, "Kalau ada yang baru mendirikan rumah di tempat tertentu pasti mereka membangun hubungan silahturahmi kepada tetangga terdekat." ujar Jeffry.

Namun, penjelasan dua perwakilan warga Tionghoa tersebut memancing respon beragam dari peserta diskusi maupun pendengar radio Fajar FM yang menyiarkan langsung acara ini. Basri, salah satu pendengan Fajar FM via telpon juga mempertanyakan soal model-model rumah warga Tionghoa yang agak tertutup. Selain pintu rumah yang selalu tertutup rapat, jendela rumah juga dipasang terali besi yang berlapis.

Irwan AR, peserta diskusi yang hadir di studio mini Redaksi Fajar juga mempertanyakan soal perjodohan antara warga Tionghoa dengan pribumi yang sangat jarang terjadi.

Yonggris mencoba menetralkan suasana dengan menjawab bahwa sikap ketertutupan model rumah selama ini, itu hanya dilatarbelakangi sikap mawas diri. Yonggris mengungkapkan, keamanan di negara kita saat ini memang sudah aman. Tapi perasaan tidak aman dari kalangan Tionghoa masih sulit dihindari.

"Peristiwa kerusuhan 1997 silam menjadi pelajaran. Waktu itu, sikap kami dari warga Tionghoa yang sudah berupaya terbuka betul-betul menjadi titik balik," kenangnya.

Karena itu, kata Yonggris, untuk membangun kembali kepercayaan dengan sesama warga lainnya, tokoh-tokoh Tionghoa senantiasa membangun kerja sama dengan pemerintah dan tokoh lintas etnis lainnya. Kerja sama itu di antaranya membuat even yang sifatnya bisa dihadiri suluruh lapisan masyarakat. Salah satunya adalah perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang digelar setiap tahun.

"Kami berharap melalui even seperti ini semua lapisan masyarakat hadir dan berinteraksi antara satu dengan lainnnya," harap Yonggris.

Sedangkan perjodohan antara warga Tionghoa dengan pribumi, lanjut Yonggris, sebenarnya tidak ada masalah. Pada dasarnya, warga Tionghoa sama dengan warga lainnya. Mereka juga butuh cinta dan kasih sayang. "Jadi maslah pernikahan antara warga Tionghoa dengan etnis lainnya itu cuma persoalan jodoh saja," katanya.

Karena itu, Yonggris dan Jeffry sangat berharap ke depan semua etnis yang ada lebih terbuka dan saling menghargai antara satu dengan lainnya. "Bagi kami adalah, biarkanlah perbedaan itu ada. Yang penting kita mau saling menghargai satu dengan lainnya," ujar Yonggris.

Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Sulsel, Halilintar Latief mengatakan, diskusi seperti ini sangat bagus dan dapat mendorong proses pembauran antar-etnik dalam masyarakat lebih cepat. Menurutnya, diskusi ini akan terus digalakkan ke depan. Di Sulsel, khususnya Makassar, lanjut dia, ada sekira 20 etnik dari 500 lebih suku bangsa di Indonesia. "Tujuan kita adalah bagaimana mengukuhkan indentitas sambil merawat keberagaman yang ada," ujar Halilintar.

Untuk lebih menghangatkan suasana diskusi, Forum Pembauran Kebangsaan Sulsel yang dipimpin Halilintar Latief juga menghadirkan Grup Sendratasik dari Universitas Negeri Makassar. Mereka menyelingi tiga lagu bugis Makassar yang beraliran musik Tionghoa. Yaitu lagu berjudul Ammaciang, Sailong, dan Ati Raja. Reny dkk dari Grup Sendratasik UNM sukses membawakan tiga lagu itu dengan apik. Para peserta diskusi dan awak redaksi Fajar pun memberikan aplaus khusus bagi mereka. (bersambung)

Sumber : Fajar ( Laporan : Rahim Kadir) Makassar
oleh TiongHoa Indonesia pada 02 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar